Kasus Yang Berhubungan Dengan Hak Cipta

Grand Indonesia Tersandung Kasus HKI

Keluarga mantan Gubernur DKI Henk Ngantung mempersoalkan penggunaan logo patung selamat datang. Harusnya minta izin kepada pembuat sketsa. Rumah itu terletak di dalam sebuah gang sempit di kawasan Cawang, Jakarta. Kalaupun motor bisa masuk, motor itu terpaksa mundur apabila ada motor lain yang datang dari arah berlawanan. Bangunan rumah itu sederhana, perabotannya pun jauh dari kesan mewah. Di ruang tamu sebuah lukisan besar terpampang. Menggambarkan karang yang berdiri tegak walau diterpa ombak di tengah lautan.
Itulah rumah tempat Hendrik Hermanus Joel Ngantung, atau yang lebih akrab dipanggil Henk Ngantung menghabiskan sisa hidupnya. Lukisan yang dipajang di ruang tamu adalah lukisan terakhir peninggalan yang dimiliki oleh keruarga. Satu per satu lukisan peninggalan dijual, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan empat orang anak. Hingga dia menjual rumah lamanya di daeah Tanah Abang, dan pindah ke rumah di gang sempit daerah Cawang, Jakarta Timur. Rumah itulah yang ditinggalinya hingga dia menutup mata karena penyakit jantung tahun 1991.
Henk Ngantung adalah wakil gubernur DKI Jakarta tahun 1959-1964. Selanjutnya dia diangkat menjadi gubernur hingga 15 Juli 1965, beberapa saat sebelum meledak peristiwa G 30 S. Sejak tidak menjabat sebagai gubernur, Henk Ngantung tidak lagi mendapat fasilitas dari negara. Uang pensiun pun tidak dibayarkan sehingga dia dan keluarganya mengamai masalah ekonomi. Baru tahun 1980, uang pensiunnya bisa diterima. Kondisi mengenaskan ini terkait stigma negatif terhadap Henk yang diduga ikut mendukung PKI.
Henk Ngantung dikenal sebagai seorang pelukis. Dia melukis berbagai peristiwa penting seperti Perundingan Renville, Perundingan Kaliurang, Perlindungan Linggarjati dan peristiwa penting lainnya dalam bentuk sketsa. Karya lain Henk adalah sebuah sketsa sepasang pemuda-pemudi yang sedang melambaikan tangan, seakan-akan menyambut kedatangan orang. Menurut Hetty Evelyne Mamesak, isteri Henk, sketsa itulah yang dijadikan dasar dari pembuatan patung tugu selamat datang. “Pemerintah DKI secara tegas mengakuinya dalam buku berjudul Karya Jaya, Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966,” ujar Hetty.
Pemahat patung tugu selamat datang, Edhi Sunarso melalui surat pernyataan tertanggal 30 Juli 2010 turut memperkuat bahwa gambar sketsa patung tugu selamat datang. Tidak hanya tugu selamat datang, patung pembebasan Irian Barat pun dibuat berdasarkan sketsa yang dibuat Henk Ngantung.
Mei 2009, Mall Grand Indonesia (GI) menggunakan logo yang identik dengan sketsa yang dibuat Henk Ngantung. Hetty menyesalkan, karena pihak Grand Indonesia tidak meminta izin kepada pihak keluarga. Menurut kerabat Hetty, yang juga advokat Andy I Nababan, pihak keluarga sudah memberi peringatan, dan melayangkan somasi kepada pihak GI. Namun, GI hanya mengakui Edhi Sunarso sebagai pemilik karya patung selamat datang.
Andy berkata, pihaknya ingin mendapat pengakuan. “Ini fakta sejarah, janan dihilangkan,” tukasnya. Kalau pihak Grand Indonesia tak memberi respon, keluarga Henk berniat menempuh jalur hukum. Selain jalur pidana dan perdata, Andy juga berencana mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, terkait pendaftaran logo GI. Dalam keterangan persnya, GI menegaskan logo GI terinspirasi dari patung/tugu selamat datang yang berada di Bundaran HI. GI beranggapan, “Logo Grand Indonesia tidak terinspirasi oleh obyek lain selain dari patung/tugu Selamat Datang. Berdasarkan patung itulah logo GI dibuat dalam bentuk gambar yang menyerupai siluet patung”.
Merek Grand Indonesia beserta logonya, secara resmi telah terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI). Karena itu, pihak GI berkeyakinan tidak satu pun pihak lain yang dapat melarang PT Grand Indonesia untuk menggunakan merek Grand Indonesia beserta logonya.
Daftar Merek dan Logo GI di Dirjen HKI
·         No. IDM000167994 tanggal 21 Nopember 2006 untuk melindungi barang-barang yang tergolong dalam kelas 16.
·         No. IDM000167995 tanggal 21 Nopember 2006 untuk melindung jasa-jasa yang tergolong dalam kelas 35.
·         No. IDM000167996 tanggal 21 Nopember 2006 untuk melindungi jasa-jasa yang tergolong dalam kelas 36.
·         No. IDM000167997 tanggal 21 Nopember 2006 untuk melindungi jasa-jasa yang tergolong dalam kelas 41.
·         No. IDM000167998 tanggal 21 Nopember 2006 untuk melindungi jasa-jasa yang tergolong dalam kelas 43.
            Dihubungi melalui telepon, Wakil Ketua Indonesia Intellectual Property Society, Dwi Anita Daruherdani menilai, apabila suatu patung dibuat berdasarkan sketsa, maka baik pembuat sketsa maupun pembuat patung memiliki hak cipta. “Menurut hemat saya ya, tetap harus izin dari pembuat sketsa,” ujarnya.
Dwi mengungkapkan perbedaan jenis hak cipta antara karya intelektual yang diperkarakan sering menyebabkan terjadinya tumpang tindih. Sketsa milik Henk Ngantung didaftarkan sebagai hak cipta sejak 2010. Sementara logo Grand Indoensia sudah didaftarkan sebagai merek sebelum hak cipta Henk didaftarkan. “Ini kan berbeda, yang satu hak cipta yang satu merek,” katanya. Merek harus ditolak apabila memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang serupa. Tidak bisa dengan hak cipta. “Paling misalnya bisa pun itu berdasarkan kepentingan umum,” terang Dwi. Dwi menyarankan agar pihak Henk Ngantung menggunakan alasan melanggar ketertiban umum apabila akan memperkarakan ke jalur hukum. Karena, patung itu sendiri sudah ada sejak lama, yaitu tahun 1962.
Perlindungan hak cipta timbul bukan berdasarkan pendaftaran, melainkan pertama kali dipublikasi atau dibuat. “Perlindungan hak cipta itu kan bukan berdasarkan pendaftaran, walalupun yang merek ini sudah jauh lebih dulu,” Karena itu, pihak GI tidak bisa beralasan mereka mendapatkan hak kekayaan intelektual terlebih dahulu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

KULINER NUSANTARA

OBJEK HUKUM