MAKALAH TENTANG BAMUI

Peresmian
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober
1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris
oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat
yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai
Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono
dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI
tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun
2003.
Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh)
tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan
dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan
hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas
keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor :
Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26
Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan
badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.
Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena
dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan
syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil
sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat.
Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri
keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan
sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah
(BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan belum diatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam
menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat,
kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta
sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang
ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan
telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan
barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan
di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah.
Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan
bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang
beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka
dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan
nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan
fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum
mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu
dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi :
‘’Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah
Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah
dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua
sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan
syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS).
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang
menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan
bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan,
dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam
menyelesaikan sengketa.
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional
ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui
Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya
mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam
Sumber: http://www.mui.or.id
Komentar
Posting Komentar