Beberapa Cotoh Kasus pada Akuntansi Forensik

Kasus PT. Telkom dan PT. Aria West Internasional


Persengketaan ini bermula dari perbedaan pandangan soal butir-butir Kerja Sama Operasional (KSO) antarkedua belah pihak yang ditandatangani pada 1995. Awalnya, Telkom menggugat Aria West ke pengadilan lantaran perusahan itu tak membangun ratusan ribu satuan sambungan telepon sebagaimana tertuang dalam butir KSO. Sebaliknya, Aria West membawa perkara itu ke Badan Arbitrase Internasional. Alasannya, Telkom telah mengabaikan beberapa butir kesepakatan KSO. Untuk itu, Aria West menuntut Telkom membayar kepada mereka sebesar US$ 1,3 miliar.

AWI sendiri merupakan perusahaan yang pemegang saham terbesarnya PT Artimas Kencana Murni (52,5%) dan perusahaan telekomunikasi multinasional raksasa AT&T (35%). Perusahaan yang komisaris utamanya Edwin Soerdjajaya ini sedang menjalin hubungan dengan operator telekomunikasi besar Siemens dalam pembangunan SST lain.


Telkom cidera janji

Pernyataan pihak AWI ini agaknya ingin menegaskan kembali posisi PT Telkom yang dianggap telah cidera janji dalam kontrak KSO (kerjasama operasi). Sebelumnya,  pada 1 April 2001 AWI mengeluarkan rilis yang menyatakan pihaknya akan menyetop pembayaran pendapatan ke Telkom. Ini terkait dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban Telkom dalam kontrak KSO.

Sebagai mitra KSO Telkom dalam pembangunan tambahan SST (satuan sambungan telepon) di Divisi Regional (Divre) III Jawa Barat, AWI diwajibkan mengeluarkan MTR (Minimum Telkom Revenue) untuk setiap SST yang telah terpasang. Di pihak lain, Telkom wajib membangun sejumlah 474.000 SST sebagai lawan prestasinya.

Dalam perjanjian itu, Telkom juga menyanggupi menyelesaikan 107.536 SST tambahan di Divre III pada akhir 1997. Atas dasar itulah kemudian AWI menyanggupi dan mulai membayar MTR pada Februari 1996. Akan tetapi, sampai dengan 30 Maret 2001, meminjam istilah AWI, Telkom gagal memenuhi kewajibannya.

Denni menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, jumlah MTR adalah fixed karena acuannya adalah jumlah SST yang dianggap telah ada. "Sekarang yang terjadi kami telah membayar MTR tersebut mulai 1996, tetapi SST tambahan yang diperjanjikan ternyata belum terpasang," kata Denni. Itu merupakan konsekuensi logis karena 107.536 SST yang dijadikan asumsi awal tidak terpenuhi sebagaimana mestinya.

 

Tidak memiliki bukti

Sedangkan menurut Telkom, mereka telah memenuhi target 107.536 SST dan bahkan realisasinya telah melebihi target. Seperti diberitakan Kompas, Presiden Komunikasi Telkom, D. Amarudien, sejak November 1995 telah terbangun sebanyak 152.940 SST atau ALU (access line unit). Ditambah lagi, semua bukti-buktinya telah diserahterimakan kepada Direksi AWI pada 16 Juli 1997.

Ketika hal ini dikonfirmasikan ke AWI, mereka menyatakan berkas-berkas yang diserahkan Telkom pada 1997 itu hanyalah merupakan klaim, bukan bukti realisasi proyek. Terlebih lagi, AWI menganggap berkas-berkas tersebut tidak disertai dengan data pendukung yang cukup. Dan tidak seperti yang diberitakan di beberapa media, Denni mengungkapkan bahwa pembayaran MTR yang dihentikan hanya sebesar 25% dari jumlah yang seharusnya. Sejak 1996 AWI membayar MTR kepada Telkom sebesar Rp340 miliar. AWI menghentikan pembayaran pendapatan atas saham tambahan kepada Telkom itu sebagai upaya untuk mengembalikan kelebihan pembayaran.

 

Negosiasi buy out tersendat

Sebagai pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa dengan Telkom, AWI saat ini tengah serius menjajaki opsi buy out. Akan tetapi, lagi-lagi negosiasi buy out pun berjalan tersendat. Pasalnya, harga yang diajukan Telkom sangat jauh terpaut dengan yang diinginkan AWI.

Untuk transaksi buy out ini, AWI mengajukan nilai AS$ 1,3 miliar, sedangkan Telkom di lain pihak merasa cukup dengan angka AS$ 260 juta. Nilai transaksi kedua mitra bisnis ini memang terpaut sangat jauh. Argumen Telkom yang menyertai angka AS$ 260 juta mengacu pada penilaian kinerja AWI.

Di sisi lain, AWI menyatakan jumlah itu masih jauh dari hasil proyeksi ABN Amro atas transaksi itu, yaitu sebesar AS$ 675 juta. ABN Amro dalam hal ini, menurut AWI, merupakan konsultan independen yang tidak ada hubungan bisnis dengan AWI dan juga Telkom. "Jadi penilaiannya pasti objektif," tegas Denni .

Sebenarnya, saat kontrak KSO ditandatangani pada 1995, AWI dan Telkom sepakat untuk melakukan kerjasama sampai dengan 2010. Kemudian di tengah jalan, lahirlah UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sehingga pemerintah menawarkan mitra KSO Telkom lima opsi, yaitu modifikasi perjanjian, joint venture dengan Telkom atau Indosat, lisensi, dan yang terakhir buy out.

Sengketa antara PT Telkom dan PT Aria West Internasional (AWI) melalui proses yang berat dan memakan waktu hampir dua tahun, akhirnya diselesaikan melalui akuisisi AWI oleh PT Telkom dalam Tahun 2003. Dalam sangketa ini, Awi menggunakan Pricewaterhouse Coopers (PwC) sebagai akuntan forensiknya, dan penyelesaikan dilakukan di luar pengadilan. PT Telkom Memberikan tawaran saham kepada PT Aria West Internasional.

Bermacam-macam hal dapat memicu terjadinya sangketa. Sangketa antara dua pihak bisa diselesaikan dengan cara berbeda, apabila menyangkut dua pihak. Pihak yang bersangketa bisa menyelesaikan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedang pihak lain melalui litigasi. Dalam hal ini, penyelesaian adalah dengan cara hukum, tetapi yang pertama diselesaikan di luar pengadilan, sedangkan yang satunya lagi melalui proses beracara di pengadilan.

 

Sumber :

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2345/font-size1-colorff0000bsengketa-dengan-telkombfontbrariawest-pertimbangkan-arbitrase-internasional?page=2

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2462/font-size1-colorff0000btelkom-vs-ariawestbfontbrarbitrase-internasional-siapa-takut?page=3

 

 

Kasus Ayam Goreng Ny.Suharti

 

Ayam Goreng Ny. Suharti pertama kali muncul sejak tahun 1962 di Yogyakarta. Rumah makan ayam Ny. Suharti ini dirilis oleh pasangan suami istri, yaitu Sachlan dan Suharti. Pada awal mula usaha, Ny. Suharti menggunakan nama Mbok Berek sebagai mereknya. Dinamakan Mbok Berek karena Ny. Suharti masih keturunan ketiga Mbok Berek yang juga merupakan pengusaha Ayam Goreng. Namun setelah beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1972, Ny. Suharti mengubah nama rumah makannya dengan nama “Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti”. Dan setelah tiga belas tahun kemudian, ia berani membuka cabang-cabangnya di berbagai kota. Hingga tahun 1998, sedikitnya ada 14 Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti tersebar di Yogyakarta, Bandung, Semarang, Jakarta, Pekanbaru, dan Medan.

Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti ini mengalami pemecahan kepemilikan. Pada awalnya yaitu tahun 1962, rumah makan tersebut dimiliki oleh Ny.Suharti dan suaminya. Tetapi setelah 30 tahun menjalankan bisnis, usaha tersebut terpecah karena masalah keluarga. Ternyata ia dikhianati sang suami yang membawa lari semua usahanya yang sudah mereka rintis sejak awal. Semua cabang yang sudah dibuka pun diakuisisi oleh suaminya. Hal tersebut dipicu oleh kehadiran orang ketiga yang berhasil menggoda sang suami, Sachlan. Meski Suharti menuding suaminya berbuat curang, tapi nasi telah menjadi bubur. Suaminya adalah pemilik resmi dan sah usaha tersebut. Pada tahun 1992, Suharti merelakan kejadian pahit tersebut dan memberanikan diri untuk membuka kembali gerai ayam gorengnya di Semarang dan terpisah dengan suaminya. Logo Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti pun mengalami perubahan. Logo awal usaha tersebut adalah  bergambar dua ayam dengan huruf S di tengahnya dan tulisan Ny. Suharti. Kemudian berganti menjadi logo dengan potret Ny. Suharti yang memakai busana Jawa.

 

Sumber :

https://www.liputan6.com/bisnis/read/752879/lika-liku-dua-logo-ayam-goreng-nysuharti

https://kumparan.com/viral-food-travel/sempat-bersengketa-dengan-suami-ini-kisah-ayam-goreng-suharti-yang-legendaris-1td7ahY6Da2/full

 

 

PT Asian Agri Grup

 

Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.

Pelarian Vincentius berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 Vincentius sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif. Pembeberan Vincent ini kemudian di tindak lanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindak lanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen.

Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun. Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Pada tanggal 11 Januari 2013, Vincentius bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II Narkoba Cipinang, Jakarta setelah bebas bersyarat lantaran menjadi justice collaborator. Di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi Justice Collaborator yaitu seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Awalnya Vincentius divonis 11 tahun penjara pada tanggal 3 April 2008 tetapi atas kerjasama mantan manajer pajak PT Asian Agri, Mahkamah Agung menjatuhi vonis 2 tahun penjara dengan 3 tahun masa percobaan dan denda sebesar Rp2,5 triliun terhadap PT Asian Agria pada akhir 2012.

 

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-717937/pembobol-rekening-rp-30-m-balik-ancam-asian-agri

https://slideplayer.info/slide/13922806/

https://www.antaranews.com/berita/352620/jadi-justice-collaborator-kasus-pajak-asian-agri-vincent-bebas#mobile-nav

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

OBJEK HUKUM

KULINER NUSANTARA